Sunday, November 14, 2010

Love...

If you love someone because you think that he or she is really gorgeous, then it's not love. It’s Infatuation!

If you love someone because you think that you shouldn't leave him because others think that you shouldn't, then it's not love. It’s Compromise!

If you love someone because you think that you cannot live without his touch, then it's not love. It’s Lust!

If you love someone because you have been kissed by him, then it's not love. It’s Inferiority Complex!

If you love someone because you cannot leave him thinking that it would hurt his feelings, then it's not love. It’s Charity!

If you love someone because you share everything with him, then it's not love. It’s Friendship!

If you love someone because of someone else, then it is not love. It is madness!

If you love someone because you think he/she is your first love, then it is not love. It was puppy love!

If you love someone because he has everything, then it is not love. It is materialistic!

If you love someone because of his/her apparently then, it was not love. It was desirable!

.....but if you feel the pain of the other person more than him even when he is stable and you cry for him... that's LOVE~!

A friends...

Friends ... What do you understand about the word 'friend'?
Friends ... is the one we can trust
Friends ... is the one that we can share everything
Friends ... is the one that we can laugh together
Friends ... is the one that we can cry together
Friends ... is a strength that we can ride
Friends ... is where we go when there is no place to go
Friendship is like a home. Protect us from danger and keep us out of any possibility
If one of your friends is gone, then the house was not perfect.
Therefore ... loves your friend sincerely as possible to build a perfect house!

But sometimes, not all peoples that we meet will remain as a friend. It depends on them to treat us as what. Even so, loves and be nice to them as you treat your friends.

Saturday, October 31, 2009

The secret of 'ROSE'

I have present about this in class before. I would like to share some of the information that i've found! It must be interesting! enjoy ur self... :)

THE MEANING OF ROSE INSTEAD OF ITS COLOR.

RED

Red roses are the traditional symbol for love and romance, and a time-honored way to say "I love you." The red rose has long symbolized beauty and perfection. A bouquet of red roses is the perfect way to express your deep feelings for someone special.

PINK

As a symbol of grace and elegance, the pink rose is often given as an expression of admiration. Pink roses can also convey appreciation as well as joyfulness. Pink rose bouquets often impart a gentler meaning than their red counterparts.

YELLOW

The bright, sunny color of yellow roses evokes a feeling of warmth and happiness. The warm feelings associated with the yellow rose are often akin to those shared with a true friend. As such, the yellow rose is an ideal symbol for joy and friendship.

WHITE

White roses represent innocence and purity and are traditionally associated with marriages and new beginnings. The white rose is also a symbol of honor and reverence, and white rose arrangements are often used as an expression of remembrance.

ORANGE

With their blazing energy, orange roses are the embodiment of desire and enthusiasm. Orange roses often symbolize passion and excitement and are an expression of fervent romance. A bouquet of orange roses will send a meaningful message.

LAVENDER

The unique beauty of the lavender rose has captured many hearts and imaginations. With their fantastical appearance, lavender roses are a perfect symbol of enchantment. The lavender rose is also traditionally used to express feelings of love at first sight.


THE NUMBER OF ROSE AND ITS MEANING.


1 Rose

Love at the first sight; you are the one

2 Roses

Mutual love between both, deeply in love with one another

3 Roses

I love you

6 Roses

I wanna be yours

7 Roses

I'm infatuated with you

9 Roses

An Eternal love, together as long as we live

10 Roses

You are perfect

11 Roses

You are my treasured one; the one I love most in my life

12 Roses

Be my steady

13 Roses

Secret Admirer

15 Roses

I am truly sorry, please forgive me

20 Roses

Believe me, I am sincere towards you

21 Roses

I am devoted to you

24 Roses

Can't stop thinking about you, 24 hours everyday

33 Roses

Saying "I love you" with great affection

36 Roses

I will remember our romantic moments

40 Roses

My love for you is genuine

50 Roses

Regretless love, this is

99 Roses

I will love you for as long as I live

100 Roses

Harmoniously together in a century; remaining devoted as couple till ripe-old age

101 Roses

You are my one and only love

108 Roses

Please marry me!

365 Roses

Can't stop thinking about you, each and everyday

999 Roses

Everlasting and Eternal love

Sunday, September 27, 2009

Renungkan...

Kadang-kadang Tuhan
Menurunkan PETIR dan KILAT
Dalam kehidupan kita
Sehingga kita menangis mencari
Di mana hilangnya MATAHARI
Dan dalam pencarian itu kita merasa SAKIT....SENGSARA

Tetapi akhirnya kita mengerti BAHAWA
TUHAN HENDAK MEMBERI KITA PELANGI
Yang mana haru
DISYUKURI, DIHARGAI, dan DIGENGGAM ERAT
Agar ia tidak terlepas dari kehidupan kita...

ABADI SEBUAH CINTA

Ada senyuman yang terukir di bibir comel Natasya. Tubuhnya kemas terbaring di atas tilam yang empuk sambil matanya terarah pada langit yang kelihatan melalui tingkap. Jari telunjuknya digigit lembut. Jelas mindanya sedang memtarkan kenangan yang sentiasa mekar di dada.
“Apabila terbitnya matahari, Aku mengatur langkah, Ingin menuju kearahmu, Bersama melalui setiap detik, Sungguh pun matahari mulai terbenam, Tapi langkah ini tidak pernah ingin berhenti…”
“Kerana aku ingin terus melangkah untukmu, Yang menjadi destinasi hidupku sekarang, selamanya dan sehayat ini…” Natasya menyudahkan puisi yang ditulisnya buat lelaki itu. Pada telahannya, puisi yang sangat bermakna bagi dia itu ditujukan buat insan lain. Suatu ketika dahulu Azmi mengambil puisi itu tanpa pengetahuannya.
Nipis senyuman di bibir Azmi diukir bersama dengan tenungan mata yang memukau hati. Suasana yang samar-samar itu menambahkan lagi kehangatan perasaan yang mulai berbunga indah. Perlahan-lahan dia mencapi jemari gadis di hadapannya dan digenggam erat sambil mengungkapkan bicara manis.
Peristiwa itu seolah-olah baru saja berlaku tapi sebenarnya ia sudah berlalu lebih lima tahun yang lalu. Sehingga sekarang mereka masih menganyam saat-saat bahagia. Senyuman di bibir Natasya kian hilang mengenang perubahan sikap Azmi yang seolah-olah tidak mengakui kewujudannya. Pedih rasa. Namun dia masih berpegang pada janji lelaki itu di saat mengungkapkan puisi cinta mereka.
Deringan telefon bimbitnya mematikan lamunan panjangnya. Pantas Natasya mencapai telefon bimbit itu dan ditekupkan ke telinga kanan.
“Hello…” Natasya memulakan bicara.
“Tasya! Azmi…” Suara Shahira kedengaran terketar-ketar seperti sedang dalam ketakutan.
Natasya bingkas bangung. Debaran di dadanya semakin rancak. “Kenapa dengan Azmi? Apa yang berlaku?”

***

Hospital Kuala Lumpur menjadi destinasinya. Mengapa aku berada di sini lagi? Soal Natasya dalam hati bersama dengan tangisan yang tidak sudah-sudah. Dia tidak pernah terfikir untuk menjejakkan kakinya ke tempat ini lagi selepas pemergian kedua ibu bapanya dua tahun lalu. Hatinya tidak henti-henti berdoa agar tidak akan ada perkara yang tidak diingini berlaku.
Tombol pintu bilik itu diputarkan kearah kanan sebelum menolaknya ke hadapan. Natasya menampak masuk dengan langkah kaki kanan. Menunjukkan dia benar-benar tidak ingin terjadi apa-apa. Saat itu juga dia menyaksikan tubuh yang amat dikenalinya terbaring lesu diatas katil. Tidak ada seri pada wajahnya. Pucat dan kelihatan tidak bermaya. Entah apa fungsi wayar-wayar yang melekat pada tubuhnya. Air mata Natasya semakin deras mengalir.
Perlahan-lahan langkahnya diatur menghampiri lelaki itu. “Kenapa Azmi bergurau dengan Tasya sampai macam ni sekali? Tasya takut dengan gurauan ini…” Ujarnya dalam tangisan. Erat jemari Azmi dalam pautannya.
Perasaan Natasya semakin tidak keruan apabila tidak ada tindak balas dari lelaki itu. Pilu hatinya melihat perubahan yang sangat ketara pada tubuh Azmi. Kini tubunya kelihatan jauh lebih susut berbanding di saat-saat dia masih aktif dan mukanya juga jelas nampak cengkung.
Mindahnya memutarkan setiap tingkah laku lelaki itu akhir-akhir ini yang seolah-olah ingin melenyapkan kehadirannya dalam diri Natasya. Dan malam ini segala persoalannya terjawab. Ada nada kesal yang mengambil tempat di hatinya. Kesal kerana terlalu mementingkan dirinya sendiri sehingga tidak mengambil tahu apa sebenarnya yang sedang berlaku.
Kedengaran pintu bilik itu dikuak. Air muka kedua ibu bapa Azmi kelihatan agak terkejut. Pantas Natasya yang kehairanan mendapatkan mereka. Perasaan ingin tahu Natasya semakin membuak-buak.
“Makcik, Pakcik… kenapa dengan Azmi?” Soal Natasya dengan tangisan yang masih bersisa. Puan Leha dan Encik Fadli saling berpandangan. Kelihatan Encik Fadli mengisyaratkan sesuatu kepada Isterinya.
Natasya kemudian menuruti langkah Ibu Azmi meninggalkan bilik itu dengan penuh persoalan di dada.

* * *

NATASYA mengatur langkah longlai. Langkah yang dia sendiri tidak tahu destinasinya. Hidup yang sedang berbunga bahagia berubah menjadi suram. Hatinya cuba menerima berita yang baru didengarnya sebentar tadi namun di sudut hatinya yang paling dalam ada penafian yang sangat kuat. Natasya duduk mencangkung di suatu sudut bagi meleraikan perasaan yang sukar dia tafsirkan sendiri. Air mata mula bergenang di kelopak matanya dan kemudian jatuh berlinagan di pipinya.
“Azmi mempunyai bara otak dan doktor memberikan tempoh kurang dari sebulan untuk hidup.” Terang Puan Leha tenang. Namun siapa sangka hatinya yang sudah tidak berdaya menerima kenyataan itu.
“Bagaimana dengan pembedahan?” Soal dia segera.
Gelengan di kepala wanita itu mematikan harapan di hatinya.
“Doktor tidak menjanjikan apa-apa kerana ia sudah sampai di tahap yang paling kritikal. Peratus Azmi untuk hidup selepas pembedahan sangat tipis dan kalau tak bernasib baik…”
Natasya menggelengkan kepalanya yang semakin sakit. Ya Allah, mengapa harus dia yang Engkau pilih menanggung derita ini? Dan kenapa harus aku yang menghadapi semua ini? Tidak cukup lagi kah nyawa kedua orang tua ku yang Engkau ambil dari ku?! Soal Natasya bertalu-talu di dalam hati.
Rasanya dia sudah tidak bermaya lagi melalui detik ini buat kali yang keduanya. Esakan tangisannya semakin menjadi-jadi. Sedikit pun dia tidak menghiraukan orang ramai yang lalu lalang di situ.
“Tasya…” Panggil Shahira yang baru tiba bersama dengan Fakrul, suaminya. Dipeluknya erat tubuh sahabatnya itu. “Sabar Tasya…” Pujuknya sambil mengusap lembut belakangnya.
“Tasya tak nak kehilangan Azmi…Kenapa Allah begitu kejam terhadap Tasya? Apa salah Tasya?” Keluh Natasya dalam tangisan.
“Tasya, ini semua adalah ujian dari Allah terhadap hamba-Nya. Dia menguji Tasya sejauh mana Tasya boleh bertahan. Allah menyayangi hamba-Nya dengan memberikan pelbagai jenis ujian…”
“Dengan merampas insan-insan yang Tasya sayang? Begitu?!” Pantas Natasya membidas kata-kata sahabatnya.
Shahira terkedu seketika. Namun dia masih waras menghadapi situasi itu dan dia amat faham sekali dengan situasi Natasya. Pantas dia membantu sahabatnya itu untuk duduk di barisan kerusi yang tersedia. “Apa yang telah berlaku dan apa yang bakal berlaku ini ada hikmah di sebaliknya, Cuma sekarang Tasya masih tak jelas…”
Mata mereka bersatu.
“Sejak bila Ira tahu perkara ini?” Soal Natasya dengan mata galak. Namun masih lagi ditemani dengan esakan.
“Itu semua tak penting” Shahira cuba bertenang. Bukan sengaja dia menyembunyikan perkara itu dari pengetahuan Natasya tetapi dia tidak punya pilihan lain. Azmi sekadar tidak ingin insan-insan yang dia sayang melayan dia sebagai pesakit dan tidak ingin menerima simpati.
“Bagi kau! Tapi penting bagi aku! Azmi adalah masa depan aku Ira... Hidup aku!”
Suasana menjadi tegang seketika. Natasya sekadar menjadi bengang kerana tidak dimaklumkan dari awal. Kenapa keadaan Azmi yang sudah menjadi tenat barulah dia dimaklumkan?
“Tasya sepatutnya bersikap lebih tenang menangani masalah ini. Bukan macam ini. Walau macam mana sekali pun nasi dah menjadi bubur kita dah tak boleh berpatah balik lagi. Berapa lama tempoh yang azmi ada sepatutnya diisi dengan kasih bukannya tangisan dan andai masih ada harapan, usahakan…” Fakrul mencelah setelah sekian lama membatukan diri.
Perlahan-lahan Natasya bangun. Mudahnya dia berkata demikian. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang mereka katakan. Ia tidak ubah-ubah seperti telah bersedia untuk pemergian Azmi. Betapa kejamnya mereka pada pandangnnya. Kemudian dia meninggalkan tempat yang dirasakkannya menyesakkan nafas itu.

***

Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung dalam naungan-Mu, berilah aku kekuatan dan ketabahan untuk menempuhi hari-hari yang teramat sukar bagiku. Ampunilah hamba-Mu ini seandainya aku terpesong daripada jalan yang Engkau redhai. Hamba-Mu ini pasrah dengan ketentuan yang Engkau tuliskan untukku.
Natasya meraupkan kedua tapak tangannya ke wajah bagi menyudahkan sembahyang. Hatinya memperoleh ketenangan dengan melaksanakan ibadahnya walau ada sekelumit nestapa yang menghuni sebahagiaan hatinya.
Usai menunaikan solat, Dia menyiapkan dirinya untuk ke hospital. Seketika Natasya memastikan matanya yang sembab disembunyikan dengan make-up nipis. Kemudian dia mempraktiskan dirinya untuk senyum tanpa menampakkan kesedihan yang teramat di hatinya yang pilu.
Sedikit demi sedikit dia mengakui akan kebenaran kata-kata Fakrul petang tadi. Walau dia menangis air mata darah sekali pun keadaan sudah tidak akan kembali kepada asalnya. Meskipun demikian di sudut hatinya yang sangat dalam dia masih mengharapkan ada keajaiban yang berlaku walau dengan secubit harapan. Selagi doktor tidak mengangkat tangan maka besarlah harapan yang dia pertaruhkan. Natasya menyusun kemas ketabahan dalam hatinya untuk bertarung dengan ketentuan ini.

NAFAS ditarik dalam dan dihembus dengan perlahan sambil memejamkan mata. “Be strong Tasya” Sempat lagi Natasya memujuk dirinya sendiri. Kemudian perlahan-lahan dia menolak daun pintu itu ke hadapan bersama dengan sisa kekuatannya. Tabahkan hatiku ya Allah… ucapnya dalam hati tatkala bebola matanya menangkap sekujur tubuh yang jelas kelihatan tidak bermaya.
Salam dihulurkan kepada kedua ibu bapa Azmi. Ada nada simpati terhadap kedua orang tua itu. Natasya berpaling memandang Azmi yang sedari tadi memerhatikan tingkahnya. Senyuman lebar yang dilemparkannya sekadar dibalas dengan senyuman yang agak hambar. Mungkin kerana dia sedang menahan kesakitan. Namun itu sudah cukup memadai baginya. Sekurang-kurangnya senyuman itu masih bisa ditatapnya.
“Azmi apa khabar?” Soal Natasya dengan intonasi yang agak lembut.
“Maafkan Azmi kerana menyembunyikan perkara ini dari pengetahuan Tasya…” Azmi tidak terus menjawab sebaliknya menyatakan ungkapan yang sudah sekian lama ingin dia utarakan.
Natasya menggeleng kecil bersama dengan senyuman di bibirnya cuba membunuh rasa bersalah di dasar hati lelaki itu. Hatinya menjadi sebak. “Apa Azmi cakap ni hem?” Nyata hatinya masih tidak mampu menerima kenyataan itu.
Ibu bapa Azmi memberi isyarat untuk meninggalkan mereka berdua. Mereka sudah kenal persis hubungan mereka yang macam mana. Malah pernah juga mereka menyatakan untuk mengikat tali pertunangan di penghujung tahun ini.
Bebola mata pasangan itu bersatu meleraikan perasaan rindu yang teramat. Di sebalik pandangan itu jelas mengambarkan betapa besar derita yang tersimpan di hati. Lama suasana itu menjadi sunyi. Masing-msaing tidak tahu bagaimana hendak memulakan perbualan mereka.
“Tasya…” Panggil Azmi lemah antara dengar dan tak dengar.
Natasya mengetap bibirnya menahan sedu yang kian terlerai. Dia memilih untuk tidak bersuara kerana dia takut nanti disusuli dengan tangisan. Dia sekadar memberi isyarat bahawa dia sedang menanti bicara yang seterusnya.
“Maafkan Azmi…”
Sayup-sayup kata maaf itu kedengaran. Natasya sudah tidak mampu menahan sedunya. Dia bingkas bangun bagi meninggalkan tempat itu. Air matanya sudah mengalir ke pipinya. Mujur tubunya membelakangi lelaki itu. Semakin pedih rasanya melihat tangan Azmi kemas memaut pergelangan tangannya.
“Please don’t leave me anymore…” Pinta Azmi.
Semakin deras air matanya mengalir. Belum pernah dia mendengar ungkapan dari lelaki itu yang penuh dengan nada ketakutan. Perlahan-lahan dia memusingkan tubunya menatap wajah Azmi kemudian melabuhkan punggung. Bersama-sama menghadapi saat genting itu. Erat tangan Azmi dipautnya.
“Maafkan Azmi…”
Natasya menggeleng kecil. “Takpe… Tasya faham, kalau Tasya yang berada di posisi Azmi mungkin akan melakukan hal yang sama.” Ujarnya dalam sebak.“Tasya cuma terkilan kerana tidak bersama dengan Azmi di saat Azmi benar-benar memerlukan Tasya. Siapa Tasya dalam hidup Azmi sehingga masalah sebesar ini Azmi tak kongsikan bersama?” Sambung dia melahirkan perasaan kesalnya.
Hati Azmi yang bagaikan batu menjadi cair. Ada jernihan yang bergenang di tubir matanya. “Azmi tak nak menjadi lelaki yang sangat lemah di hadapan gadis yang Azmi sayang. Azmi nak Tasya ingat Azmi yang kuat bukannya seorang lelaki yang lemah tak berdaya, seorang yang tak berguna…”
Pantas Natasya memeluk lelaki itu. Dia sudah tidak mampu mendegar kata-kata itu. Setiap biacara itu seolah-olah menghiris perasaannya menjadi rasa yang tiada kekuatan. Masing-masing meleraikan tangisan sebak.
“Azmi, let’s do the operation?” Aju Natasya setelah meleraikan pelukan itu.
Perlahan-lahan Azmi menggelengkan kepalanya.
“But why? Sekurang-kurangnya kita mencuba…” Natasya tidak mahu mengaku kalah pada harapan yang sekelumit cuma.
“Hidup cuma sekali, bagaimana kalau operation itu tidak berjaya? Azmi dah tak dapat menatap wajah Tasya lagi seperti sekarang. Peratus untuk Azmi hidup tak banyak. Sekurang-kurangnya sekarang Azmi punya satu tempoh untuk bersama dengan orang-orang yang Azmi sayang.”
Bicara itu menakutkan seluruh jiwa raga Natasya. Dia takut kehilangan orang yang dia sangat sayang. Tempat dia bergantung perasaan di saat bahagia dan derita, di saat berani dan ketakutan.
“Bagaimana kalau sememangnya harapan itu berpihak pada Azmi?”
Bicara mereka masih tertumpu kepada satu harapan. Harapan yang mungkin akan menjadi milik mereka dan juga harapan yang tidak mungkin berpihak kepada mereka.

***

“Good morning…” Sapa Natasya sebaik melihat Azmi membuka matanya. Ada kelegaan yang bertandang ke hatinya yang sememangnya resah.
Azmi sekadar tersenyum kecil. Ada perasaan bahagia yang menyelinap ke dasar hatinya tatkala melihat wajah insan yang dicintainya sebaik tersedar di waktu pagi. Dan setiap kali itulah dia menjalani sisa hidupnya dengan penuh kesyukuran kerana Allah masih memberikan dia peluang untuk menatap wajah-wajah yang dikasihinya.
Walau terasa lemah, Azmi mengagahi tangannya mencapai tangan gadis yang dicintainya. “Azmi sayang Tasya…” Ucapnya dengan nada yang agak lemah.
“Tasya pun sayang Azmi sangat-sangat.” Balas Natasya penuh kesebakan. “Ingat lagi tak masa rambut Azmi kena potong time form five dulu?”
Azmi mengangguk. Senyuman kecil tersimpul di bibirnya. “Masa tu Tasya langsung tak dengar alasan dari Azmi…”
“Sebenarnya time tu, Tasya saja nak kenakan awak, sebab Azmi ni dicop lelaki macoh yang sombong dan bongkak.” Beritahu Natasya. Dia tidak pernah memberi tahu perkara itu kepada Azmi. Saat itu dia sangat meluat melihat kelakuan Azmi yang tidak kena pada tempatnya. Namun siapa tahu, saat itu merupakan titik perkenalan mereka berdua.
“Azmi tahu…” Balas Azmi yang sudah sedia maklum.
Pandangan mereka bersatu. Azmi merasakan betapa gadis itu menderita. Perasaan bahagianya yang hadir sebentar tadi dirampas oleh perasaan yang sangat pedih. Pedih kerana tidak mampu memberikan kebahagiaan buat gadis itu.
“Kenapa Azmi dilahirkan hanya untuk menyakiti perasaan Tasya?” Ujar Azmi kesal. Matanya mula berkaca-kaca menahan sebak yang semakin menggigit sanubarinya.
Kata-kata daripada lelaki yang sangat dia sayangi itu seolah-olah pisau yang menghiris setiap sudut hatinya. Jernihan yang kian jatuh itu menambahkan lagi sedu di hatinya. Cukuplah kali semalam dia menangis di hadapan lelaki itu. Dia perlu kuatkan hati untuk terus memberi kebahagiaan buat lelaki itu. Mungkin untuk sisa hidupnya yang teramat singkat.
Natasya mencapai tangan Azmi dan diusapnya perlahan sambil memujuk perasaannya sendiri daripada sama-sama menitiskan ari matanya. Wajahnya yang memaparkan seribu jenis rasa disembunyikan dengan senyuman. “Jangan cakap macam tu. Setiap insan yang Allah cipta ada tanggungjawab masing-masing. Cuma kita tak sedar bila, di mana dan kepada siapa kita telah lakukannya.”
Azmi menganggukkan kepalanya tanda faham. Namun di sudut hatinya masih menyimpan perasaan kesal itu.
Pintu dikuak kemudian seorang doktor bersama dengan tiga orang jururawat masuk ke dalam bilik itu. Natasya meminta diri seketika bagi melancarkan tugasan doktor pagi itu. Dia berlalu menuju ke suatu sudut di bahagian tangga. Lantas tangisan yang dia tahan sebentar tadi terlerai. Pedih dan seksa yang teramat menemaninya saat itu. Deras air matanya mengalir membawa duka di hatinya.

“DOKTOR, saya nak lakukan pembedahan itu.” Ujar Azmi tegas. Kalau dulu dia merasa putus asa dengan keadaan yang dia hadapi namun saat ini tidak lagi. Dia ingin meneruskan hidupnya buat orang-orang yang dia sayang dan terutama sekali buat Natasya. Dia sedar betapa besar harapan daripada gadis itu agar dia terus berjuang untuk hidup buatnya.
Doktor Azlie yang selama ini merawatnya agak terkejut dengan keputusan daripada Azmi. Sebelum ini dia sudah menjelaskan risiko yang dihadapi ketika melakukan pembedahan. Sekiranya pembedahan itu berjaya sekalipun, namun kemungkinan kuman yang telah merebak di banyak tempat tidak dapat dibuang sepenuhnya. Dia sebagai doktor akan melakukan yang terbaik untuk pesakitnya.
Akhirnya dia mengangguk setuju. “Saya akan berusaha untuk membuang sebahagiaan kuman itu. Apa yang penting sekarang, encik Azmi kena siapkan mental untuk pembedahan ini.”
“Sebahagiaan?” Soalnya sedikit kecewa.
“Kami akan usahakan encik Azmi. Tapi sebelum itu saya kena berbincang dengan ibu bapa encik Azmi dulu.” Inilah cara yang dia gunakan selama ini. Berbincang dengan mereka yang sepatutnya, kemudian disampaikan secara perlahan-lahan kepada pesakit. Ini membuatkan pesakit tidak akan bertambah tertekan dengan situasinya.
Azmi mengangguk tanda faham. Sebaik doktor itu beredar dari bilik itu cepat-cepat dia menghubungi Natasya. Rasanya tidak sabar pula dia memaklumkan perkara itu kepadanya.
Di sudut hati kecilnya ada perasaan takut yang menyelinap dengan keputusannya sendiri. Takut masanya yang sudah teramat singkat itu dirampas begitu saja tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Perlukah dia mengorbankan masa yang dia ada terhadap harapan yang sedikit cuma?
Ya Allah mengapa harus aku berada di persimpangan yang tidak menjanjikan apa-apa harapan? Bicaranya dalam hati. Dia menanamkan keyakinan dalam dirinya sama seperti keyakinan yang Natasya miliki. Mengapa harus tidak kerana sedikit harapan itu mungkin akan memulangkan hasil yang berlipat kali ganda.

***

Sudah hampir empat jam Azmi berada di bilik pembedahan dan sepanjang itulah setiap insan yang berada di luar biliik itu tidak putus-putus berdoa. Memohon kepada yang maha besar akan suatu keajaiban buat Azmi.
Sedari tadi Natasya duduk di kerusi tepat berhadapan dengan bilik pembedahan. Di sebalik doa yang diucapnya di dalam hatinya terselit perasaan takut akan kehilangan lelaki itu. Dia perlu yakin untuk Azmi.
Pintu bilik itu dikuak. Seperti biasa doktor yang melakukan pembedahan keluar terlebih dahulu. Semua yang berada di situ segera mendapatkan doktor itu. Melihat air mukanya yang solah-olah kecewa membuatkan mereka semakin risau.
“Bagaimana keadaan anak saya doktor?” Soal Encik Fadli ditemani dengan debaran di dadanya.
Doktor Azwan seorang pakar pembedahan sedikit mengeluh. Dia menarik nafasnya panjang. “Kami sudah berusaha dengan sebaik mungkin, namun kami masih gagal membuang semua kuman yang telah merebak ke bahagiaan kepalanya.”
Sekali lagi semua yang berada di situ melepaskan perasaan lega.
“Dia seperti ada semangat untuk hidup. Ini merupakan satu keajaiban yang perlu kita syukuri kerana dalam banyak-banyak kes seperti dia tidak ramai yang berjaya. Tapi kita perlu bersedia kerana bila-bila masa saja dia mungkin akan pergi kerana kuman yang tidak berjaya dibuang mungkin akan menyerang dia pada bila-bila masa.”
“Apa fungsi pembedahan ini kalau keputusannya tetap sama?” Puan Leha naik marah. Keputusan yang dia harapkan tidak menampar cuping telinganya. Mungkin sebab itulah dia sedikit naik angin. Encik Fadli bersama anak-anaknya menenangkan perasaan isterinya. Memang keputusan itu agak mengecewakan mereka.
“Kami cuma dapat membuang kuman yang telah menyerang di tempat yang sangat merbahaya.” Jawab Doktor itu tenang. “Saya minta diri dulu.”
Natasya melabuhkan punggungnya. Sempat dia menadahkan tangannya mengucap syukur kepada Dia yang maha mengetahui.

***

Dua minggu telah berlalu. Azmi kini boleh bergerak dengan bebas. Sama-sama tertawa dan bergembira. Walau pun kesihatan Azmi seperti tidak ada baiknya namun mereka sudah cukup gembira dengan perubahan itu. Kadang dia kelihatan sangat lemah, tak lalu makan dan asyik tertidur dan kadang juga dia kelihatan agak bersemangat.
Sebentar tadi suasana di dalam bilik itu dipenuhi dengan gelak ketawa daripada ahli keluarga Azmi. Seperti tidak ada apa-apa perasaan takut memburu mereka. Alangkah baiknya andai suasana ini tidak akan pernah berakhir.
Kini Natasya tinggal sendirian mengantikan kedua ibu bapa Azmi untuk menjaganya. Sekali gus menemani dan mengunakan masa yang dia ada dengan sebaik mungkin. Petang itu dia menemani Azmi ke taman. Elok juga sekali sekala Azmi terdedah dengan udara segar.
Masing-masing melabuhkan punggung di atas kerusi yang tersadai di bawah pohon. Tiba-tiba Azmi menyerahkan buku yang dibuatnya khas buat gadis itu kepada Natasya. Dengan perasaan teruja Natasya menyelak satu persatu helaian buku itu. Ada senyuman yang terukir melihat gambar candidnya sejak di awal perkenalan mereka. Turut dimuatkan kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.
“Azmi tak nak Tasya lupakan Azmi macam tu je…” Ujar Azmi menyuarakan suara hatinya. Ada jernihan kelelakian yang mengalir dari kelopak matanya. Dia merasa tidak cukup masa lagi untuk memberitahu gadis itu betapa dia bersyukur kerana berpeluang untuk mencintainya. Hanya Tuhan saja yang tahu betapa dia menderita melihat orang yang dicintainya terpaksa membohongi dirinya demi dia.
Natasya memejamkan matanya cuba mengawal sedu yang kian bertandang. Namun kali ini dia gagal. Air mata yang cuba dia sembunyikan akhirnya terlerai jua. “Macam mana Tasya lupakan Azmi begitu saja…” Esakan tangisannya memenuhi ruang itu. “Semua kenangan yang ada di hati Tasya cuma dengan Azmi.”
Azmi memaut jemari gadis kesayangannya itu. “Azmi sayang Tasya.” Ujar dia yang hanya kedengaran seperti berbisik dan dibalas dengan anggukan. Natasya menarik nafasnya sambil mengesat air matanya. Kemudian dia mengukir senyuman buat tatapan lelakit itu. Saat itu Azmi sedang bertarung dengan kesakitan yang teramat sangat tanpa mempamerkan kepada gadis di hadapannya.
Azmi meletakkan kepalanya di bahu Natasya. Rasa tidak bermaya pula. “Andai suatu hari nanti Azmi pergi…” Bicara itu terhenti seketika. Segera Natasya memandang Azmi dengan penuh debaran diselangi ketakutan di hatinya. Dia merasa pelik dengan setiap bicara Azmi saat itu. Semakin deras air mata yang tidak dia undang itu mengalir.
“Azmi akan menjadi bintang yang paling bersinar untuk Tasya. Percikan bintang itu melambangkan cinta Azmi yang tidak akan hilang buat Tasya. Kalau bintang itu tidak kelihatan, Azmi cuma pergi untuk seketika…”
Sekali lagi Nataysa mengangguk dalam kesebakan.
“Azmi juga ingin menjadi angin yang akan memeluk Tasya di saat Tasya memerlukan seseorang.”
“Kalau Tasya rindukan Azmi, carilah matahari kerana cahayanya merupakan sinar cinta Azmi buat Tasya.”
Natasya hanya mampu menganggukkan kepalanya. Perasaan hiba yang teramat sangat mengambil tempat di hatinya. Semakin erat jemarinya memaut jemari lelaki itu.
Tiba-tiba pautan tangan Azmi tidak lagi erat. Tangannya mulai sejuk. Segera itu Natasya memejamkan matanya. “Tasya sayang Azmi… Tasya akan mencari bintang, angin dan matahari apabila rindukan Azmi…” Ucapnya sebelum melepaskan tangisan. Saat itu hanya Tuhan saja yang tahu betapa hiba hatinya. Hidupnya seolah-olah turut terhenti di situ.
“Azmi…!” Jerit Natasya sekuat hatinya bersama dengan tangisan kehilangan.

TAMAT…